—
“… Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah salatnya. Apabila salatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila salatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi….” (H.R. Abu Daud)
Hendaknya seorang muslim perhatian terhadap salat dan waspada terhadap praktik keliru dalam salat yang dapat merusaknya. Diantara contoh praktik keliru:
1) Tidak Membaca dengan Lisan ketika Takbir, Membaca Surat, dan Dzikir
Membaca dengan lisan merupakan sebuah hal yang wajib dalam salat menurut para ulama, bukan sekadar membaca dalam hati.
2) Tidak Tuma’ninah dalam Salat
Tuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut tenang. Jika tidak tuma’ninah dalam ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk diantara dua sujud, berarti salat tidak sah.
3) Memejamkan Mata ketika Salat
Jika membuka mata tidak menyebabkan terganggunya kekhusyukan, maka membuka mata lebih utama. Jika membuka mata bisa mengganggu kekhusyukan orang tersebut, maka dalam keadaan ini menutup mata dalam salat tidaklah makruh.
—
Segala puji bagi Allah Ta’ala, semoga shalawat dan salam terlimpahkan pada tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau dengan baik. Amma ba’du.
Salat merupakan ibadah yang agung. Diantara bukti keagungannya adalah Allah sendiri yang langsung menyampaikan kewajiban salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra` Mi’raj. Salat merupakan penyejuk hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau senantiasa berpesan kepada umatnya untuk menjaga salat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah salatnya. Apabila salatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila salatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari salat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan, ’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan salat sunnah?’ Maka salat sunnah tersebut akan menyempurnakan salat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” (H.R. Abu Daud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Karena agungnya ibadah ini, maka hendaknya seorang muslim perhatian terhadapnya dan waspada terhadap praktek-praktek yang keliru dalam salat, karena praktek yang keliru dalam salat bisa merusak kesempurnaan salat atau bahkan membatalkannya. Dalam pembahasan kali ini kami sampaikan beberapa kekeliruan yang sering dilakukan ketika salat dalam rangka saling menasihati dalam kebenaran.
1) Tidak Membaca dengan Lisan ketika Takbir, Membaca Surat, dan Dzikir
Tidak membaca dengan lisan ketika takbir, membaca surat, dan dzikir-dzikir sholat yang lain dan mencukupkan diri dengan membaca dalam hati merupakan sebuah kekeliruan. Orang yang melakukannya seolah-olah menganggap bahwa salat hanyalah perbuatan anggota badan yang tidak ada ucapan lisan maupun dzikir sama sekali. Padahal membaca dengan lisan merupakan sebuah hal yang wajib dalam salat menurut para ulama dan para shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.
Seandainya membaca dalam hati adalah sah dalam sholat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin akan bersabda kepada seseorang yang praktek sholatnya belum benar, “… kemudian bacalah ayat Al Quran yang mudah bagimu.” Karena yang namanya “al qira’ah” (bacaan) bukanlah bacaan dalam hati. Dan diantara konsekuensi dari “al qira’ah” –ditinjau dari sisi Bahasa Arab dan sisi syariat- adalah menggerakkan lisan sebagaimana yang telah diketahui. Diantara hal yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala, ”Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya.” (Q.S. Al Qiyamah : 16).
Oleh karena itulah para ulama yang berpendapat bahwa orang yang junub dilarang membaca Al Quran, mereka membolehkan membaca ayat dalam hati ketika junub, karena membaca dalam hati bukanlah “al qira’ah” (bacaan).
2) Tidak Tuma’ninah dalam Salat
Tuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut tenang.
Dari Zaid bin Wahb, beliau mengatakan, “Hudzaifah melihat seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Beliau berkata, “Engkau tidaklah salat. Seandainya engkau mati, maka engkau mati dalam keadaan tidak di atas fithrah yang Allah fithrahkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”.” (H.R. Bukhari).
Atsar di atas menunjukkan wajibnya tuma’ninah dalam ruku’ dan sujud. Cacat pada dua hal tersebut merupakan pembatal salat, karena Hudzaifah mengatakan, “Engkau tidaklah salat.” Hal ini semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang yang belum benar salatnya sebagaimana hadits berikut ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid, kemudian masuklah seorang laki-laki kemudian salat. Kemudian dia datang dan mengucapkan salam pada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi menjawab salamnya dan bersabda, “Kembalilah, dan sholatlah, karena sesungguhnya engkau belum sholat.” Kejadian ini berlangsung tiga kali. Maka laki-laki tersebut mengatakan, ”Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa salat lebih baik dari salatku ini. Maka ajarilah aku.”
Nabi bersabda, “Jika engkau hendak salat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat, kemudian bertakbirlah. Lalu bacalah ayat Al Quran yang mudah bagimu. Kemudian ruku’lah sampai engkau tuma’ninah dalam ruku’mu. Kemudian bangkitlah sampai engkau i’tidal dalam keadaan berdiri (tegak). Kemudian sujudlah sampai engkau tuma’ninah dalam sujudmu, kemudian bangkitlah sampai engkau tuma’ninah dalam dudukmu. Kemudian sujudlah sampai engkau tuma’ninah dalam sujudmu. Kemudian lakukanlah hal tadi dalam seluruh salatmu.” (H.R. Bukhari).
Hadits di atas merupakan dalil wajibnya tuma’ninah. Barangsiapa meninggalkannya maka ia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, dan statusnya masih sebagai orang yang dituntut untuk melakukan perintah tersebut.
Para ulama mengatakan, ”Tidaklah sah ruku’, sujud, berdiri setelah ruku, tidak pula duduk antara dua sujud sampai orang tersebut i’tidal (proporsional) dalam ruku’, berdiri setelah ruku’, sujud dan duduknya.”. Dan ini merupakan pendapat yang shahih yang terdapat dalam atsar, dan inilah pendapat jumhur ulama dan para ulama peneliti. (Tafsir Al Qurtubi 11/124-125).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang salat dalam keadaan cepat sekali sehingga seperti mematuk dalam gerakan salatnya. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Itu adalah salatnya orang munafik, (yaitu) seseorang duduk mengintai-intai matahari, sampai ketika matahari berada diantara dua tanduk setan, maka dia berdiri kemudian mematuk (dalam salatnya) sebanyak empat rakaat, dia tidak berdzikir pada Allah kecuali sedikit.” (H.R. Muslim).
Keadaan orang yang mematuk dalam salatnya adalah sebagaimana yang bisa kita saksikan pada sebagian orang yang salat. Sebagian orang melakukan rukun-rukun salat secepat anak panah, tidaklah lebih dari ucapan “Allahu Akbar” dalam ruku’ dan sujudnya, dan ia melakukannya dengan sangat cepat. Hampir-hampir sujudnya mendahului ruku’nya, dan ruku’nya mendahului bacaan suratnya. Dan tidak jarang ada orang yang menganggap bahwa bacaan tasbih dalam ruku’ dan sujud lebih utama dibaca sekali daripada tiga kali. Dan ini merupakan sebuah hal yang keliru.
3) Memejamkan Mata ketika Salat
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Bukanlah termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memejamkan kedua mata beliau ketika salat. Dan telah berlalu penjelasan bahwa ketika tasyahhud beliau mengarahkan pandangannya ke jari-jari beliau dalam doa, dan pandangan beliau tidak lepas dari isyarat beliau (yaitu isyarat dengan telunjuk ketika tasyahud).”
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang status makruhnya memejamkan mata dalam salat. Imam Ahmad dan ulama yang lain menilainya sebagai suatu hal yag makruh, mereka mengatakan, ”Itu adalah perbuatan orang Yahudi.” Sejumlah ulama yang lain menilainya sebagai hal yang mubah dan tidak makruh, mereka mengatakan, ”Terkadang hal tersebut lebih bisa membantu tercapainya kekhusyukan yang merupakan ruh salat dan inti salat.”
Pendapat yang lebih tepat adalah jika membuka mata tidak menyebabkan terganggunya kekhusyukan maka membuka mata lebih utama. Akan tetapi jika membuka mata bisa menghalangi antara orang tersebut dengan kekhusyukan, semisal karena di arah kiblat terdapat hiasan dan lainnya yang mengganggu konsentrasi hatinya maka dalam keadaan ini menutup mata dalam salat tidaklah makruh.
Demikian pembahasan kali ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Marilah kita senantiasa memperbaiki amal ibadah kita dengan meninggalkan apa yang kita ketahui itu keliru, dan mengamalkan apa yang menjadi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Diringkas dan diterjemahkan oleh Rizki Amipon Dasa dari Al Qaul Al Mubiin fi Akhtha’il Mushalliin karya Syaikh Masyhur Hasan Salman], dinukil dengan penyesuaian dari artikel Buletin At-Tauhid tahun 2011.